Tanggung jawab sekolah yang besar dalam memasuki era globalisasi adalah mempersiapkan siswa untuk mengahadapi tantangan-tantangan
dalam masyarakat sangat cepat perubahannya. Sala satu dari tantangan yang dihadapi oleh para siswa adalah menjadi pekerja
yang bermutu. Kemampuan berbicara dalam bahasa asing dan kemahiran komputer merupakan dua kriteria utama yang pada umumnya
diajukan sebagai syarat untuk memasuki lapangan kerja di Indonesia ( dan di seluruh dunia ). Mengingat sekitar 20-30 % dari
lulusan SMU di seluruh wilayah Nusantara ini yang melanjutkan ke tingkat perguruan tinggi, dan dengan adanya komputer yang
telah merambah di segala bidang kehidupan manusia, maka dibutuhkan suatu tanggung jawab yang besar terhadap system pendidikan
untuk meningkatkan kemampuan berbahasa dan kemahiran komputer bagi para siswa kita.
Biaya yang dibutuhkan untuk mempersiapkan belajar komputer di sekolah akan mahal.
* Bagaimana pemerintah akan mampu membiayai pembangunan ini ?
* Memberikan apa yang dibutuhkan, bagaimana pemerintah dapat mengelak untuk tidak membiayai pembangunan ini ?
* Apakah pemerintah harus membiayai secara penuh untuk pembangunan ini ?
Dalam menghadapi masalah ini beberapa sekolah swasta dan negeri yang telah mengambil langkah maju. Pada beberapa sekolah
mereka telah membangun hubungan yang sangat erat dengan masyarakat setempat dan melakukan sebuah lompatan yaitu dengan mengundang
para masyarakat penyumbang untuk membangun fasilitas dasar komputer. Sekolah ini telah membuktikan bagaimana mengatasi salah
satu masalah terbesar dalam pengenalan teknologi ke sekolah-sekolah di Indonesia secara berkesinambungan. Keefektifan system
yang berkesinambungan ini sudah tumbuh lama ketika masyarakat setempat memahami bagaimana pentingnya teknologi bagi anak-anak
mereka. Dalam hal ini kami telah mempelajari bahwa, sekolah-sekolah yang bekerjasama dengan masyarakat setempat untuk membangun
fasilitas cenderung berkembang secara teratur dan juga meningkatkan dukungan dari masyarakat setempat.
Kesinambungan adalah faktor utama. Pada program di masa lalu untuk menyediakan teknologi ke sekolah kebanyakan mencapai
sedikit sukses dalam jangka waktu yang cukup lama dan jarang sekali menunjukkan perkembangan. Persyaratan mengenai laboratorium
bahasa adalah contoh yang umum. Biasanya ada enam masalah utama, yaitu ;
* Anggaran untuk perawatan fasilitas awal tidak tersedia.
* Pelatihan biasanya terlalu spesifik dan tidak berhubungan dengan kebutuhan di lapangan atau perubahan sikap.
* Tidak tersedianya karyawan untuk perawatan rutin dan pengembangannya.
* Tidak tersedianya teknisi ahli atau terlalu mahal
* Materi yang sesuai untuk mengajar tidak tersedia
* Lemahnya kondisi kerja guru di lapangan mendorong bahwa mereka tidak dapat membagi waktu untuk mengembangkan materi
mengajar secara kreatif.
Masalah-masalah ini menjadi lebih luas dalam hal komputer karena tingkat keahlian yang diminta untuk mengembangkan dan
merawat fasilitas tersebut sangat tinggi serta kemahiran komputer mempunyai nilai jual yang sangat tinggi pula. Saran untuk
memberi pelatihan karyawan di sekolah tidak berlaku dalam konteks yang ada saat ini. Karena siapa saja yang mengembangkan
diri untuk mencapai posisi tingkat ahli, mereka di sektor komersil dapat menghasilkan sepuluh kali lipat dari apa yang mereka
dapat di sekolah, jadi mungkin saja mereka akan menghabiskan waktu dengan pekerjaan dari luar kantor (hal ini juga menjadi
masalah pada karyawan yang memiliki kemampuan di bidang jasa umum).
posting By: Benni Irawan
Pada tahun 1998-2000 kami melaksanakan penelitian untuk meningkatkan mutu peran teknologi dalam pelajaran bahasa di Sekolah
Menengah Umum. Kami mengujungi ratusan sekolah di pulau Jawa, Bali, dan Lombok. Salah satu hal yang sangat terkait dengan
pengembangan teknologi dan bahasa adalah fasilitas dan sumber bahan bahasa yang ada di perpustakaan sekolah. Apakah perpustakaan
sekolah anda seperti perpustakaan di foto?
Dari penelitian kami delapan faktor muncul yang sangat mengagetkan:
1. Biasanya tidak ada siswa-siswi di dalam perpustakaan.
2. Perpustakaannya hanya buka pada jam kelas (paling tambah 15 minet).
3. Guru-guru tidak secara rutin menyuruh siswa-siswi dalam jam kelas ke perpustakaan untuk tugas, mencari informasi
atau solusi sendiri.
4. Jelas, guru-guru tidak dapat minta siswa-siswi mencari informasi di perpustakaan di luar jam kelas karena perpustakaannya
tidak buka.
5. Guru-guru sendiri jarang kunjungi perpustakaan, dan kurang tahu isinya.
6. Seringkali pengelola perpustakaan adalah guru yang juga jarang ada di perpustakaan.
7. Pada umum, pengelola perpustakaan kelihatannya tidak mempromosikan perpustakaannya (atau berjuang untuk meningkatkan
minat baca) secara aktif dan kreatif.
8. Lingkungan sekolah (termasuk rakyat) kurang aktif membangunkan perpustakaan.
Sebenarnya Perpustakaan Sekolah Begini Hanya Sebagai "Gudang Buku" !
Kebiasaan ini belum merubah di kebanyakan sekolah sampai sekarang.
Padahal Perpustakaan Seharusnya Sebagai "Jantung Sekolah".
Banyak siswa-siswi belajar dalam keadaan sulit di rumah, karena tempatnya sempit, ada adik-adik yang suka menggangu, mereka
sering harus belajar di meja makan sesuai dengan waktu tidak dipakai, mereka tidak dapat belajar bersama teman-teman sekelas,
dll.
Mengapa perpustakaan sekolah tidak buka satu sampai dua jam setelah jam kelas? Misalnya tutup jam 3 atau 3.30. Dari pengalaman
kami alasan-alasan yang muncul adalah banyak! Masalah yang disebut termasuk; biaya karyawan, sekuriti, kendaraan untuk siswa,
dll. Tetapi tidak ada alasan sebenarnya, dan untungannya untuk siswa-siswi kalau buka adalah banyak!
Perpustakaan juga sangat cocok untuk sebagai tempat di mana siswa-siswi dapat mengakses sumber-sumber informasi di Internet
di luar jam kelas karena di awasi (melindungi siswa-siswi dari situs, kekerasan, porno, dll), dan siswa-siswi dapat dibantu
oleh pustakawan/wati tanpa kebutuhan staf khusus.
Sering perpustakaan diurus oleh karyawan Tata Usaha (TU). Kita hanya perlu salah satu staf TU yang masuk 2 jam lebih siang
dan pulang 2 jam lebih sore, tidak kena biaya. Kalau ada staf perpustakaan yang khusus - dibuat shift saja. Seringkali masuk
lebih siang dan pulang lebih sore adalah keadaan yang cocok untuk anggota staf tertentu.
Yang kami melihat, di kebanyaan sekolah staf sekuriti sudah bertugas sampai sore. Kalau tidak, sistem shift juga dapat
dilakukan.
Kalau masalahnya ada kendaraan, ini dapat dinegosiasi oleh staf sekolah. Biasanya bisnis dari siswa-siswi sekolah adalah
sangat penting kepada perusahaan kendaraan, supir angkot, tukang becak, atau tukang ojek, dan mereka akan fleksibel.
Kami belum membahas hal "jumlah atau jenis koleksi buku", yang biasanya sangat kurang. Tetapi selama perpustakaan
sekolah hanya sebagai "gudang buka" jumlah buku dan peraturan buku (Sistem/Katalog) tidak termasuk hal-hal utama.
Kita harus berjuang untuk mengatasi isu-isu (1-8 di atas yang tidak kena biaya) dan meningkatkan minat, kesempatan, dan
kebiasaan baca. Kalau belum, perpustakaannya akan gagal sebagai jantung sekolah. Kebiasaan baca adalah kunci untuk mengembangkan
pengetahuan dan pendidikan kita terus selama hidup (lifelong learning).
"Perpustakaan Online" tidak sebagai pilihan yang rialistik untuk mayoritas siswa-siswi tingkat sekolah (atau
masyarakat) di Indonesia karena mereka tidak punya komputer atau akses ke Internet di rumah. Waktu untuk menggunakan komputer
di sekolah adalah sangat terbatas, dan untuk "print" (cetak) dokumen-dokomen atau ebook dari Internet adalah sangat
mahal dibanding dengan pinjam buku dari perpustakaan "yang gratis".
Buku-buku di perpustakaan sekolah dapat dipinjam dan dibaca kapan saja, di mana saja (di becak, di tempat tidur), dan
buku-buku perpustakaan sekolah dapat "diakses oleh semua siswa-siswi secara adil". Ayo, membangun perpustakaan sekolah
yang lengkap dengan akses di luar jam kelas.
Posting By: M Taufiq H
|